Hari Pahlawan bermula dari sebuah ancaman pada 9 November 1945, Mayor Jenderal Robert Mansergh, Komandan Divisi 5 Inggris, mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. “Semua pemimpin Indonesia, termasuk pemimpin gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala radio Surabaya harus melaporkan diri di Bataviaweg menjelang jam 18.00 tanggal 9 November 1945,” demikian bunyi ultimatum itu. “Mereka harus berbaris satu persatu membawa segala jenis senjata yang mereka miliki. Senjata tersebut harus diletakkan di tempat yang berjarak 100 yard dari tempat pertemuan,” lanjutnya seperti dikutip dari buku Pelajar Pejuang (1985) karya Asmadi (hlm. 164). “Setelah itu, orang-orang Indonesia harus datang dengan tangan di atas kepala mereka, dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat,” tegas Mansergh. Perwira tinggi yang lahir di Afrika Selatan itu jelas menyebut “pemimpin gerakan pemuda” dalam peringatannya. Ia tidak menunjuk secara spesifik bahwa ultimatum Inggris ditujukan kepada angkatan perang Indonesia. Mansergh hanya menyinggung “kepala polisi” yang tentu saja belum bisa mewakili militer RI secara keseluruhan. Peringatan tersebut diserukan Mansergh beberapa waktu setelah tewasnya pemimpin pasukan Inggris di Jawa Timur, Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby, pada 30 Oktober 1945. Inggris murka dan memperingatkan pihak Republik untuk segera menyerah. Jika tidak, bentrokan bersenjata pasti bakal terjadi. Arek-arek Surabaya sama sekali tidak gentar. Maka, pecahlah pertempuran sengit pada 10 November 1945, tepat hari ini 75 tahun silam. Hari di mana terjadi perang yang menelan korban puluhan ribu jiwa ini kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Sumber https://tirto.id/f6GM